Tak
Ada Gantinya
Seorang
perempuan termenung menatap hujan dibalik jendela kamarnya. Hujan yang turun
begitu deras seakan tak memiliki beban kehidupan. Mereka seperti sedang
bermain-main diudara. Bermain perosotan seperti waktu kecilku dahulu.
Tetapi,dibalik semua itu pasti banyak pahit getir yang telah dialami oleh sang
hujan. Ia harus berubah menjadi awan, mendung, hingga akhirnya berubah menjadi
hujan lagi. Seperti halnya diriku, yang selalu terlihat tegar diluar namun hati
tak begitu.
Benar
yang dikatakan orang, hidup itu kadang diatas kadang pula dibawah. Kadang
merasa senang kadang pula merasakan kesedihan. Dahulu bersama, kini berpisah.
Yah..begitulah kehidupan. Ketika aku sedang asik mengamati hujan kedua
sahabatku datang.
“Kamu kenapa bengong didepan
jendela, sedang mikirin apa Nir?”
“Oh kamu Fal..sama siapa kamu
kesini?”
“Tu sama si Ais…”
“Hei Anir!!! Sedang apa kamu? Sedang
galau ya pasti,hahaha….”
“Iya,pasti mikirin si Prama kan.
Hayoo ngaku??”
“Iiih..apaan sih kalian!
“Pinjem handuk dong Nir,basah nih.
Hujannya nggak pengertian banget sih. Ada cewek cantik kayak gini masih aja
turun.”
“Tuh ambil dibalik pintu.”
Kutunjukkan tangan kananku ke arah
handuk yang kumaksudkan. Ais dan Falya berebut meraihnya. Akupun hanya
tersenyum melihat tingkah mereka.Merekalah sahabatku sekarang. Orang yang
selalu mendengar keluh kesahku selama ini. Begitupun sebaliknya mereka juga
selalu meluapkan isi hati mereka kepadaku. Aku selalu berpikir, apakah mereka
bosan selalu hal itu itu saja yang menjadi luapan hatiku. Ya tentang laki-laki
yang menjadi pujaan hatiku selama ini.
Walaupun aku dan Prama sudah tak
bersama, namun dalam kehidupanku, dalam sehari hariku masih penuh dengan segala
tentangnya. Mimpi ditidurku hampir tiap hari ada kemunculannya. Hubunganku
dengan Pramapun masih baik-baik saja. Kadang masih kubagi keluhku dengannya.
Kuutarakan perasaanku kepadanya. Pramapun menerima keluhku dengan sabar.
Semakin hari kurasa Prama tambah dewasa
pemikirannya. Aku semakin kagum dengannya. Aku ingin menjadi bagian dari
hidupnya. Meskipun bukan menjadi pemilik hatinya, aku ingin keluh kesahnya bisa
dibagi denganku.
“Eh nir tadi aku melihat Prama di
jalan Karang Biru. Dia memakai baju warna kuning kesukaanmu. Dia sedang beli
makan kayaknya.”
Masih
sibuk mengeringkan rambutnya yang basah akan air hujan, Falya mulai bercerita. Falya
selalu bercerita setiap kali menemui orang yang kukasihi. Akupun mendengarkan
ceritanya secermat mungkin. Beberapa kali Ais menambah keterangan yang
diberikan Falya kepadaku.
“Iya
Nir, tadi kamu nggak ikut kita sih ke fotocopyan, jadi nggak bisa lihat deh.”
“Nggak
papa, tadi aku juga udah ketemu dia kok dikampus. Dia senyum kepadaku. Manis
banget. Nggak nyangka dulu aku pernah memilikinya.”
Ingatanku
mengarah kebeberapa waktu lalu, ketika Prama memintaku untuk bersedia menjadi
kekasihnya. Masih dengan senyum yang sama.
“Aku
tak peduli orang mau bilang apa. Aku tau banyak yang tak suka akan rasa kita,
tapi peduli apa, kita yang rasa. Mereka semua hanya melihat dari sudut mereka.”
“Aku
percaya kamu. Aku memilih bersamamu. Tak peduli akan anggap aku apa, akan
katakan aku apa oleh mereka.”
“Aku
menyayangimu”
“Aku
tidak!!!”
“Loh
kok?”
“Aku
tidak menyayangimu, tapi begitu menyayangimu,hihi….”
“hih…dasaaar.”
Dicubitnya
pipiku yang katanya tembem. Entah kenapa setiap kali Prama mencubit pipiku aku
merasa itu bukti sayangnya kepadaku. Aku menikmati itu semua.
“Tembemnya
kamu yay..” Begitulah panggilan sayangnya kepadaku.
“Iya..kamu
tirus..”
“Biarin,
tapi kamu suka kan?”
“Mau
kamu tembem, tirus, nggak punya pipipun aku tetap menyayangimu..”
“Oyah?
Masak sih?”
“Oh,
ragu nih critanya?”
“Mmm..iyaaa…”
“Hih
kok nyebelin sih!”
“Tapi
boong….hihihi”
“Hiiihhhh…”
Canda
yang begitu renyah seperti itu yang membuatku nyaman didekatnya. Tapi Itu dulu.
Kenangan semua itu masih teringat jelas dalam memori otakku.
“Dasar
Anir! Dua sahabatnya dateng malah ditinggal ngelamun sendiri.”
Tiba-tiba
si Falya membuyarkan lamunanku dan mulai dengan ceritanya yang baru.
“Eh..eh
tau gag kalian, tadi aku berpapasan dengan Rade. Tapi dia cuek, kayak nggak
kenal gitu. Sedih banget, padahal aku udah senyum semanis mungkin.Walaupun
begitu aku tetep sayang banget ma dia Nir, Ais…”
“Cep..cep..cep..”
Aku
dan Ais menepuk nepuk punggung Falya berusaha menenangkan hatinya. Padahal
dibelakang Falya aku dan Ais menahan tawa. Kita berdua memang selalu jail kalo
soal Falya. Mungkin karena Falya terlalu polos dan selalu ada sela dijadikan
bahan tertawaan dari cara ia bercerita, dari cara pola pikirnya yang beda
dengan yang lain. Meskipun begitu kita saling mengerti satu sama lain.
“Kamu
kok bisa sih Nir, baik-baik sama Prama. Bisa akur terus kayak gitu. Ketemu juga
nyapa. Nggak kayak Rade cuek banget. Iri deh liat kamu ma Prama.”
Senyumku
melebar. Di dalam hati aku merasa bersyukur atas pernyataan yang disampaikan
oleh Falya. Sejak aku berpisah dengan Prama aku berharap akan tetap berhubungan
baik dengannya. Itu berarti harapanku tercapai.
Sementara
Falya dan Ais sibuk membereskan lembar fotocopyan yang mereka bawa, aku kembali
meneruskan lamunanku.
Aku
tak pernah menyesal pernah menjadi bagian dari hidupnya. Aku juga tak pernah
menyesal berpisah darinya, karena aku yakin akan jalan yang telah tergariskan.
Aku yakin kalau jodoh pasti akan dipertemukan dan jodoh itu pasti sudah ada
yang menentukan sejak manusia itu belum terlahir. Jadi tak perlu ada yanng
dikhawatirkan saat ini.
Walaupun
demikian, masih saja aku merasa sakit jika ada perempuan lain yang berasa
didekat Prama. Pernah beberapa kali aku mengeluarkan air mata karena hal itu.
Padahal tak ada apa-apa diantara mereka. Aku juga sering bilang langsung dengan
Prama. Pramapun berusaha menenangkanku. Semakin dia berusaha menenangkanku
semakin aku larut kedalam hatinya.
“Prama
kuingin kau tau isi hatiku,kau tak akan pernah terganti. Tak akan pernah ku
temui cinta yang sama diujung dunia manapun. Bila ada di belahan dunia mana
bilang padaku, maka akan kucari itu.”
“Aku
selalu berusaha mengikuti bayang hidupmu. Sejauh kuikuti segala tentangmu,
semakin kutau akan dirimu, semakin kumengerti masa lalumu..Namun tak pernah ku
mengerti masa depanmu. Siapapun yang menjadi masa depanmu, kuharap dia gadis
yang mampu membuatmu selalu tersenyum.”
Seketika
aku tersadar dari lamunanku dan menghapus air yang jatuh di kedua pipi tembem
yang selalu dicubitnya dahulu. Seketika itu pula aku sadar kedua sahabatku
tertidur disampingku. Mereka kelihatan begitu lelah. Kucoba menghapus peluh di
wajah mereka. Aku sadar merekalah yang selama ini menguatkanku.
Tiba
tiba handphoneku bergetar. Ku raih
handphone yang tergeletak diatas kasur. Saat ku mulai membuka pesan yang masuk
dan kubaca.. Jantungku berdebar seketika.
“Anir,
aku menyayangimu..”
Prama_
31/03/2013 12:47
Magelang, 31 Maret 2013 12:47
Dzikrina Istighfaroh
11201241069
<~ Bersama tokoh asli dalam cerita sebagai Ais dan Falya
Sedangkan yang atas tidak perlu ditanya lagi..yaa Prama :)