TUGAS KRITIK SASTRA SEMESTER 5-KU........
UNSUR
FEMINISME DALAM NOVELET DORODASIH
KARYA
IMAN BUDHI SANTOSA
Oleh:
Dzikrina Istighfaroh
NIM 11201241069
|
Bukukita.com |
A.
PENGANTAR
Karya
sastra merupakan hasil cipta manusia yang perlu kita apresiasi bersama dengan berbagai
cara. Salah satu wujud apresiasi karya sastra yaitu dengan cara menganalisis
karya tersebut dengan berbagai macam pendekatan yang ada. Hal pertama yang akan diulas yaitu pengertian
karya sastra. Para ahli memiliki cara pandang mereka masing-masing dalam mengartikan
sebuah makna dari karya sastra. Pengertian karya sastra dalam buku berjudul
Pengantar Ilmu Sastra yaitu teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai
untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk
sementara waktu saja (Luxemburg, Mieke,Willem G. W., 1989:9).
Jakob dan Saini (1997: 3) berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia
yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam
suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa .
Pengertian lain juga terdapat dalam buku Pengantar Kajian Sastra, yaitu segala
sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis (Wiyatmi, 2008:
17).
Pendekatan dalam karya
sastra itu sangat penting karena apabila dalam menganalisis suatu karya sastra
kita tidak terfokuskan ke dalam salah satu pendekatan maka hasilnya akan kurang
maksimal. Dalam menganalisis novelet berjudul Dorodasih karya Iman Budhi
Santosa ini saya analisis menggunakan pendekatan feminisme. Kental sekali unsur
feminisme di dalam cerita Dorodasih ini. Sebelum membahas mengenai cerpen yang
akan dianalisis ada baiknya kita ketahui dulu pengertian dari pendekatan
feminisme. Pendekatan feminisme yaitu salah satu kajian karya sastra yang
mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan, baik
sebagai penulis maupun dalam karya sastra- kartya sastranya (Wiyatmi, 2008:
113).
Iman Budhi Santosa dalam mencipta
karya sastra berjudul Dorodasih ini begitu memperhatikan tingkah seorang
perempuan pada masanya. Dibuktikan dengan menampilkan beberapa karakter tokoh
perempuan dalam cerpen tersebut. Novelet ini juga pernah dibahasdan diteliti
sebelumnya mengenai citra tokoh perempuan oleh Nita Tri Prastiyoningtias.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan tingkah laku tokoh perempuan pada kumpulan novelet Dorodasih
karya Imam Budhi Santosa. Serta mendeskripsikan stimulus yang mempengaruhi
terbentuknya tingkah laku tokoh perempuan pada kumpulan novelet Dorodasih karya
Imam Budhi Santosa (Prastiyoningtias, 2008) Hal ini yang
menjadikan alasan saya dalam menganalisis novelet berjudul Dorodasih ini
menggunakan pendekatan feminisme.
B. PEMBAHASAN
Novelet berjudul
Dorordasih karya Iman Budhi Santosa ini sarat akan unsur keperempuannannya.
Dilihat dari judulnya saja sudah terlihat bahwa karya sastra tersebut
menceritakan tentang tokoh perempuan bernama Dorodasih. Entah itu membahas
mengenai kehidupannya yang seperti apa, namun pasti banyak hal yang dapat di analisis
menggunakan pendekatan feminisme. Berikut ini adalah data yang dapat mengacu
kepada bukti-bukti fokus berdasar pendekatan feminisme:
No
|
Tokoh
|
Kategori
|
Kutipan
|
1.
|
Dorodasih
dan para pemetik
|
Deskripsi
pengarang
|
Saksi
utama ketegaran mereka menapaki kerasnya kehidupan dibumi leluhur sendiri.
Semenjak
dahulu kala, mati hidupnya perkebunan the memang bukan ditangan laki-laki,
melainkan pada jemari dan punggung perempuan perkasa ini (Santosa, 2002: 3).
|
2.
|
Dorodasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Yang
menyolok dan membuatnya berbeda dari gadis-gadis sebayanya, mungkin
dandanannya. Dimanapun berada, Dasih selalu kelihatan rapi (Santosa, 2002: 5)
|
3.
|
Dorodasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Dasih
benar-benar mewarisi sebagian sifat dirinya. Keras hati, mudah tersinggung,
namun pemaaf.
Mengenai
kesukaannya terhadap segala sesuatu yang bersih dan rapi itu, Temo menduga,
turunan dari emaknya (Santosa, 2002: 6-7)
|
4.
|
Dorodasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Dari
hari ke hari, nama Dasih, pribadi, dan keberadaannya semakin lebur. Menyatu
dengan Parmi, Wage, Muisah, Sulipah, Kemi, Jani, Wagiyem, serta puluhan
pemetik lainnya. Baik yang tamat SD, yang hanya sampai kelas dua, atau yang
dapatnya tulis baca lantaran kejar paket A (Santosa, 2002: 7
|
5.
|
Dorodasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Dasih
yang sekarang adalah dasih yang rela menangis atau tertawa dalam duka gembira
yang menyertai kehidupan sunyi perempuan perbukitan Kembangsari (Santosa,
2002: 8)
|
6.
|
Ruwanti
|
Dialog
antar tokoh
|
“Dan
ini, kalau saya juri, Ruwanti nggak bakalan menang masak petik bertahun-tahun
kena terik matahari mudah pingsan?” (santosa, 2002:9)
|
7
|
Dorodasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Dasih
tidak menjawab. Mengangguk pun tidak. Karena wajahny terasa ditampar. Panas
seperti tersiram bara. Dengan mulut terkatup rapat, ia bangkit. Kemudian bergegas
meninggalkan implasemen tanpa berpaling lagi (Santosa, 2002: 10)
|
8.
|
Dorordasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Kali
ini perasaannya benar-benar terguncang. Harga dirinya seperti tertantang.
Selamanya belum pernah orang mengharubiru caranya berpakaian. Apalagi sampai
mengatur , harus begini begitu. Baginya pakaian bukanlah penutup tubuh
belaka. Buka pula hiasan. Melainkan cermin kepribadian (Santosa, 2002:10-11)
|
9.
|
Dorodasih
|
Dialog
tokoh
|
Nada
bicaranya berat dan dalam. Wajahnya serius. Menandakan apa yang disampaikan
bukanlah omong kosong belaka… Bukan isapan jempol yang cukup didengarkan dengan satu telinga . “Anak itu
keras hatinya . tapi orangnya baik. Luhur budinya. Aku yakin. Misalnya ia
salah, ia tentu punya alasan kuat terhadap perbuatannya..wujud kesehariannya
memang tukang petik . tapi dihatinya tersimpan ribuan mutiara.” (Santosa,
2002: 13)
|
10
|
Dorodasih
|
Deskripsi
pengarang
|
Dasih
diam saja. Wajahnya tak berubah. Dingin tanpa ekspresi. Kendati batinnya
berkutat habis-habisan menahan perasaannya yang mulai bergejolak. (Santosa,
2002: 15)
|
11.
|
Dorodasih
|
Dialog
tokoh
|
Mendengar
jawaban Temo yang terus terang menyebut pemetik itu kuli , Dasih tertawa. “
Itulah yang menjadi cita-cita saya, Pak. Bagaimana membuat pemetik-pemetim
itu bukan lagi kuli. Paling tidak supaya mereka lebh diperhatikan. Dihargai
sebagai manusia. Caranya, kalau kebun belum membuka diri, kitalah
pemetik-pemetik ini yang harus menghargai pekerjaan kita terlebih dahulu.
Mana mungkin orang lain menghargai kita sebelum yang bersangkutan
menghargainya?” (Santosa, 2002: 26)
|
|
|
|
|
Data diatas
merupakan bukti bahwa banyak sekali unsur feminisme yang menonjol dalam novelet
tersebut. Karya sastra tersebut menceritakan tentang kehidupan Dorodasih
sebagai pemetik teh.
Saksi utama ketegaran mereka menapaki
kerasnya kehidupan dibumi leluhur sendiri.
Semenjak dahulu kala, mati hidupnya
perkebunan teh memang bukan ditangan laki-laki, melainkan pada jemari dan
punggung perempuan perkasa ini (Santosa, 2002: 3).
Sebagai
seorang perempuan sudah bukan jamannya hanya berada didalam rumah. Eksistensi
perempuan telah diakui di kaum laki-laki. Mereka bisa bekerja sesuai dengan
kemampuan dan kemauan masing-masing.
Yang menyolok dan membuatnya berbeda
dari gadis-gadis sebayanya, mungkin dandanannya. Dimanapun berada, Dasih selalu
kelihatan rapi (Santosa, 2002: 5)
Dorodasih
walaupun dia seorang pemetik the yang tangguh namun dia tetap memperlihatkan
sisi kewanitaannya yaitu selalu berpakaian rapi saat bekerja. Walaupun
teman-teman kerjanya sering mengolok-olok gaya pakaiannya dia tetap konsisten
untuk selalu berpakaian kebaya rapi.
Dalam
novelet tersebut dijelaskan karakter dari tokoh Dorodasih melalui deskripsi
pengarang dan juga dialog antar tokoh. Karakter dorodasih yaitu dia bersifat
keras hati seperti ayahnya. Ia juga mudah tersinggung namun pemaaf. Sifat yang
diturunkan dari ibunya yaitu Dorodasih suka dengan segala hal yang bersih dan
rapi. Berikut ini kutipan dalam novelet yang menjelaskan hal tersebut.
Dasih benar-benar mewarisi sebagian
sifat dirinya. Keras hati, mudah tersinggung, namun pemaaf.Mengenai kesukaannya
terhadap segala sesuatu yang bersih dan rapi itu, Temo menduga, turunan dari
emaknya (Santosa, 2002: 6-7)
Selain
itu Dorodasih juga pribadi yang cerdas dari pada teman-temannya. Ia juga mudah
bergaul dan memiliki banyak teman.
Dari hari ke hari, nama Dasih, pribadi,
dan keberadaannya semakin lebur. Menyatu dengan Parmi, Wage, Muisah, Sulipah,
Kemi, Jani, Wagiyem, serta puluhan pemetik lainnya. Baik yang tamat SD, yang
hanya sampai kelas dua, atau yang dapatnya tulis baca lantaran kejar paket A
(Santosa, 2002: 7)
Sifat
Dorodasih sebagai seorang perempuan yang khas lain yaitu ia tidak suka
diatur-atur mengenai cara berpakaian. Menurutnya pakaian itu adalah cermin dari
kepribadian seseorang. Jadi waktu ada orang yang mengatur pakaian yang
dikenakannya ia langsung marah.
Kali ini perasaannya benar-benar
terguncang. Harga dirinya seperti tertantang. Selamanya belum pernah orang
mengharubiru caranya berpakaian. Apalagi sampai mengatur , harus begini begitu.
Baginya pakaian bukanlah penutup tubuh belaka. Buka pula hiasan. Melainkan
cermin kepribadian (Santosa, 2002:10-11)
Walaupun
Dorodasih memiliki sifat mudah tersinggung, namun ia memiliki hati yang bersih
dan tekad yang kuat. Terbukti dalam kutipan antar tokoh berikut ini;
Nada bicaranya berat dan dalam. Wajahnya
serius. Menandakan apa yang disampaikan bukanlah omong kosong belaka… Bukan
isapan jempol yang cukup didengarkan
dengan satu telinga . “Anak itu keras hatinya . tapi orangnya baik. Luhur
budinya. Aku yakin. Misalnya ia salah, ia tentu punya alasan kuat terhadap
perbuatannya..wujud kesehariannya memang tukang petik . tapi dihatinya
tersimpan ribuan mutiara.” (Santosa, 2002: 13)
Dorodasih
memiliki tekad yang kuat. Ia bercita-cita ingin memajukan kehidupan para
pemetik teh agar tidak dianggap remeh. Tidak disamakan dengan kuli yang hanya
bisa disuruh-suruh. Cita- cita mulianya terdapat dalam dialog Dorodasih dan
bapaknya sebagai berikut;
Mendengar jawaban Temo yang terus terang
menyebut pemetik itu kuli , Dasih tertawa. “ Itulah yang menjadi cita-cita
saya, Pak. Bagaimana membuat pemetik-pemetim itu bukan lagi kuli. Paling tidak
supaya mereka lebh diperhatikan. Dihargai sebagai manusia. Caranya, kalau kebun
belum membuka diri, kitalah pemetik-pemetik ini yang harus menghargai pekerjaan
kita terlebih dahulu. Mana mungkin orang lain menghargai kita sebelum yang
bersangkutan menghargainya?” (Santosa, 2002: 26)
C.
KESIMPULAN
Unsur
feminisme dalam novelet berjudul Dorodasih karya Iman Budhi Santosa ini begitu
kental. Terlihat dari judulnya yang menggunakan nama pemeran tokoh utama dalam
novelet tersebut. Dorodasih adalah seorang pemetik daun the yang memiliki
cita-cita mulia ingin mengangkat martabat perempuan para pemetik the agar tidak
disamakan seperti kuli. Ia berharap pemetik teh dapat dihargai pekerjaannya.
Perempuan juga dapat dihargai kerja kerasnya sama seperti pekerja laki-laki.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Luxemburg,
J.V., Mieke B., dan Willem G.W..1989. Pengantar
Ilmu Sastra. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Prastiyoningtias, Nita Tri. 2008.
Citra Tokoh Perempuan pada Kumpulsn
Novelet “Dorodasih” Karya Iman Budhi Santosa. Diakses dari
http://eprints.umm.ac.id/10125/ pada hari minggu 12 Januari 2014.
Santosa,
Iman Budhi. 2002. Dorodasih. Yogyakarta:
LkiS.
Sumardjo,
Jakob & Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian
sastra. Yogyakarta: Pustaka.